Transformasi Paradigma Pendidikan Dari Budaya Menghakimi Menuju Pendidikan yang Membangun

By Green Berryl

banner 468x60

Kitabaru.com – Perbedaan filosofi pendidikan antara Indonesia dan negara maju telah lama menjadi bahan diskusi para pakar pendidikan. Prof. Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, melalui refleksi pengalaman pribadinya, mengungkap bagaimana budaya menghakimi dan menghukum yang masih mendarah daging dalam sistem pendidikan Indonesia dapat menghambat potensi peserta didik.

## *Refleksi Perjumpaan Dua Budaya Pendidikan*

banner 336x280

Prof. Rhenald Kasali menceritakan pengalaman transformatif lima belas tahun lalu ketika ia mengajukan protes kepada guru anaknya di Amerika Serikat. Ia merasa heran dan khawatir ketika karangan berbahasa Inggris anaknya yang menurutnya “buruk” dan “logikanya sangat sederhana” justru mendapat nilai E (excellence). Sebagai orang tua dari Indonesia, ia mengkhawatirkan anaknya akan cepat puas diri jika diberi nilai tinggi untuk karya yang menurutnya belum layak[1][3].

Respons guru Amerika tersebut membuka perspektif baru bagi Prof. Kasali. Guru tersebut dengan bijaksana menjelaskan perbedaan fundamental dalam filosofi pendidikan: “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”[3][5]. Percakapan ini menjadi titik balik penting yang mengubah cara Prof. Kasali dalam mendidik dan membangun masyarakat[1].

Perbedaan mendasar ini mencerminkan kontras tajam antara dua budaya pendidikan: satu yang berorientasi pada pengembangan dan mendorong kemajuan, dan satu lagi yang cenderung berfokus pada pencarian kesalahan dan pemberian hukuman[5].

## *Budaya Menghukum dalam Sistem Pendidikan Indonesia*

Dalam sistem pendidikan Indonesia, terdapat kecenderungan kuat untuk menekankan kesalahan dan memberikan hukuman daripada mendorong kemajuan. Prof. Kasali membandingkan pengalaman studinya di luar negeri yang “bergelimang nilai A” dengan pengalamannya di Indonesia yang harus “jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam”[5].

Salah satu observasi menyedihkan yang diungkapkan Prof. Kasali adalah bagaimana para pengajar di Indonesia sering “menerkam dan menelan” mahasiswanya saat ujian, bukannya saling membantu[1]. Ketika seorang penguji atau promotor berusaha membela atau meluruskan pertanyaan, penguji lain malah “marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap”[5].

Fenomena ini menunjukkan budaya akademik yang kurang sehat, di mana para pendidik cenderung melakukan “discouragement” daripada “encouragement”. Hasilnya dapat diprediksi: tingkat kelulusan rendah dan kualitas lulusan yang tidak optimal[5]. Lebih memprihatinkan lagi, siklus negatif ini cenderung terus berlanjut karena “orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan”[5].

## *Dampak Jangka Panjang Budaya Menghakimi*

Budaya menghakimi dan menghukum dalam pendidikan memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius. Prof. Kasali memperingatkan bahwa institusi pendidikan nasional berisiko menghasilkan “useless generation” – generasi yang tidak bisa bekerja, berkarya, berinovasi, dan memiliki kompetensi[2].

Lebih lanjut, dalam artikel lain, Prof. Kasali mengungkapkan fenomena anak-anak yang cemerlang di sekolah namun sering gagal ketika menghadapi dunia nyata. Ini terjadi karena mereka “terlalu serius sejak kecil dan kehilangan kesempatan untuk tumbuh secara utuh”[4]. Sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek formal seperti membaca, menulis, berhitung, dan menghafal, tanpa memberi ruang yang cukup untuk bermain dan eksplorasi, menciptakan generasi yang tidak siap menghadapi kompleksitas dunia nyata[4].

## *Inspirasi dari Model Pendidikan yang Membangun*

Kontras dengan model Indonesia, Prof. Kasali mengamati bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Keberhasilan pendidikan di Amerika, menurutnya, bukan karena mereka memiliki “guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak”[1][5].

Salah satu contoh konkret adalah cara pemberian umpan balik kepada siswa. Di Amerika, rapor siswa ditulis dalam bentuk verbal yang mendorong, bukan sekadar angka atau huruf yang menghakimi. Bahkan untuk anak-anak Indonesia yang baru tiba dan mengalami kesulitan, rapor mereka tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang memotivasi: “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti”[5].

Pendekatan ini mencerminkan filosofi yang berorientasi pada proses dan kemajuan, bukan semata-mata hasil akhir. Setiap anak dilihat sebagai individu unik dengan latar belakang, kemampuan, dan laju perkembangan berbeda-beda[3].

## *Dampak Neurobiologis dari Ancaman versus Dukungan*

Temuan-temuan dalam ilmu otak memperkuat argumen Prof. Kasali. Otak manusia tidak statis, melainkan dapat “mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh”[5]. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar: apakah dipenuhi ancaman atau dukungan.

Dalam lingkungan yang penuh ancaman, otak masuk ke dalam mode “fight or flight” yang menghambat fungsi kognitif tingkat tinggi. Sebaliknya, dalam lingkungan yang mendukung, otak dapat berkembang optimal, membentuk koneksi neural baru, dan meningkatkan kapasitas belajar.

Prof. Kasali menegaskan bahwa “kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun”[5]. Dengan kata lain, ada “orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh”, tergantung pada lingkungan belajar yang mereka alami[5].

## *Menuju Transformasi Paradigma Pendidikan*

Di tengah era perubahan global yang pesat, Prof. Kasali menegaskan bahwa institusi pendidikan nasional harus bersiap menghadapi “gelombang perubahan” (wind of change)[2]. Perubahan tidak hanya dalam hal teknologi atau kurikulum, tetapi lebih fundamental pada paradigma dan pendekatan.

Pendidikan bukan sekadar “mentransfer ilmu pengetahuan” tetapi juga berdampak pada “pengembangan kepribadian para murid”[6]. Pendidikan sejati memberdayakan peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan memberikan respons kreatif terhadap berbagai isu yang mereka hadapi[6].

Prof. Kasali mengajak kita untuk merenungkan: “Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?”[5]. Jawaban implisitnya jelas: tidak. Generasi hebat dilahirkan dari lingkungan yang mendukung, memotivasi, dan memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang secara utuh.

## *Kesimpulan*

Artikel Prof. Rhenald Kasali tentang budaya menghakimi dan menghukum para pendidik di Indonesia mengungkap kebutuhan mendesak untuk transformasi paradigma dalam pendidikan. Dengan mengubah pendekatan dari “menghakimi dan menghukum” menjadi “mendorong dan membangun”, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif untuk pengembangan potensi peserta didik secara optimal.

Sebagaimana diingatkan Prof. Kasali, “Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti”[5]. Hanya dengan demikian, pendidikan kita dapat benar-benar menjadi wahana pembebasan dan pemberdayaan, bukan arena penghakiman dan penghukuman.

Citations:
[1] Budaya Menghakimi dan Menghukum Para Pendidik di Indonesia https://www.timorline.com/opini/1281168830/budaya-menghakimi-dan-menghukum-para-pendidik-di-indonesia
[2] Rhenald Kasali: Sekolah Harus Siap Hadapi “Gelombang Perubahan” https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/20/085425371/rhenald-kasali-sekolah-harus-siap-hadapi-gelombang-perubahan
[3] MENGAPA ORANG INDONESIA GAMPANG SEKALI MENGHAKIMI … https://prnewspresisi.com/mengapa-orang-indonesia-gampang-sekali-menghakimi-dan-menghukum-orang-berdasarkan-persepsinya-sendiri/
[4] Geger! Guru Besar UI Rhenald Kasali Bocorkan Fakta Kenapa … https://www.melintas.id/pendidikan/345853276/geger-guru-besar-ui-rhenald-kasali-bocorkan-fakta-kenapa-banyak-anak-berprestasi-malah-gagal-di-dunia-nyata
[5] Budaya Menghakimi dan Menghukum Para Pendidik di Indonesia https://strateginews.id/2025/04/06/budaya-menghakimi-dan-menghukum-para-pendidik-di-indonesia/
[6] Memaknai Pendidikan Sesungguhnya Bersama Prof Rhenald … https://www.kompasiana.com/yesisupartoyo/567b8ce15397732807897dfb/memaknai-pendidikan-sesungguhnya-bersama-prof-rhenald-kasali-ph-d-melalui-indonesiax-platform-edukasi-online-gratis-tanpa-bayar-cukup-daftar
[7] #Prof. Rhenald Kasali Archives – Strategi News https://strateginews.id/tag/prof-rhenald-kasali/
[8] Rhenald Kasali: Negara Perlu Memperkuat Pendidikan Swasta https://edukasi.kompas.com/read/2019/03/25/23071051/rhenald-kasali-negara-perlu-memperkuat-pendidikan-swasta
[9] #Prof. Dr. Renald Kasali Archives – Kinerjaekselen https://kinerjaekselen.co/tag/prof-dr-renald-kasali/
[10] Prof. Rhenald Kasali vs Eep: IKN Bisa Mangkrak! | Keep in Touch #16 https://www.youtube.com/watch?v=Wa3EaBsATQ8
[11] Budaya Menghakimi Pendidik: Tantangan Besar dalam Dunia … https://www.satuju.com/berita/10573/budaya-menghakimi-pendidik-tantangan-besar-dalam-dunia-pendidikan-indonesia.html
[12] Ngobrol bersama prof @rhenald.kasali di kanal Intrigue … – Instagram https://www.instagram.com/islah_bahrawi/p/CxeYVlhP8Uz/?next=%2Fcatspack%2Ftagged%2F
[13] Mendidik bukan untuk menghakimi dan menghukum, melainkan … https://www.instagram.com/kaspuldarmawi/p/DIG4j3QSH0C/
[14] Neni Nur Hayati : Ada Kekuatan Baru!!! #ProBonoPodcast Eps 2 https://www.youtube.com/watch?v=VYmmNEtTK9M
[15] Rhenald Kasali : Entreprenuer, Jangan Orientasi Cuan dan Cuan https://rri.co.id/surabaya/daerah/329298/rhenald-kasali-entreprenuer-jangan-orientasi-cuan-dan-cuan

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed