Oleh: Indria Febriansyah
Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia
Bank Dunia baru saja merilis laporan yang menyatakan bahwa 60,3% penduduk Indonesia tergolong miskin, setara dengan 172 juta jiwa. Klaim ini tentu mencengangkan, terutama jika dibandingkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut angka kemiskinan hanya 8,57%. Namun yang menjadi soal bukan semata perbedaan angka, melainkan metode, sudut pandang, dan konteks kultural yang diabaikan oleh Bank Dunia.
Budaya Lokal: Hemat, Mandiri, dan Tak Bergantung pada Uang Tunai
Bank Dunia memakai standar pengeluaran harian sebesar US$6,85 atau sekitar Rp115.278 per hari sebagai batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah-atas. Dengan parameter ini, siapa pun yang pengeluarannya di bawah angka itu langsung dikategorikan miskin. Tapi mari kita bertanya: apakah pengeluaran rendah selalu identik dengan kemiskinan?
Di banyak daerah di Indonesia, khususnya pedesaan dan kabupaten, masyarakat hidup dari hasil bumi. Mereka memetik hasil kebun, menangkap ikan di sungai, dan membangun rumah secara gotong royong. Transaksi ekonomi yang mereka jalankan tidak selalu menggunakan uang tunai. Sistem barter bahkan masih eksis di beberapa wilayah. Mereka tidak miskin secara sosial maupun budaya—mereka justru mandiri dan hidup cukup.
Indikator yang Gagal Menyentuh Realitas Sosial
Bank Dunia melihat dari kaca mata ekonomi konsumtif, dengan asumsi bahwa makin tinggi pengeluaran, makin sejahtera seseorang. Padahal di Indonesia, budaya hemat adalah bagian dari nilai luhur. Banyak masyarakat tidak terbiasa membelanjakan uang secara besar-besaran, dan lebih memilih menabung, menyimpan pangan, atau saling berbagi dalam komunitas.
Lebih dari itu, survei pengeluaran masyarakat yang dijadikan dasar klaim Bank Dunia sangat mungkin bias. Banyak masyarakat Indonesia masih bertransaksi secara tunai, bahkan tidak memiliki rekening bank. Maka, data pengeluaran yang tidak tercatat secara digital tidak masuk dalam radar pengamatan lembaga internasional tersebut.
Kritik atas Validitas Akademik
Secara akademik, metode survei yang menggeneralisasi populasi besar seperti Indonesia dengan indikator tunggal pengeluaran per hari patut dipertanyakan. Di mana data primer mereka dikumpulkan? Berapa persen populasi Indonesia yang benar-benar dijadikan responden? Apakah data dikonfirmasi dengan realitas lapangan yang kompleks dan beragam? Jika tidak, maka hasilnya hanya hipotesis statistik yang berbahaya jika digunakan sebagai acuan kebijakan.
Kemiskinan Tak Bisa Diukur Hanya dari Uang
Kesejahteraan masyarakat Indonesia tidak bisa diukur semata dari besarnya pengeluaran harian. Kebahagiaan, rasa cukup, solidaritas sosial, dan kemandirian ekonomi lokal adalah indikator yang jauh lebih representatif. Maka, kami menolak labelisasi “mayoritas miskin” yang dilekatkan kepada bangsa ini tanpa memahami konteks budaya dan sosial masyarakatnya.
Indonesia bukan bangsa miskin. Indonesia adalah bangsa yang kaya secara alam, budaya, dan nilai hidup. Dan kami akan terus mengingatkan dunia akan hal itu. (red)