Mengimajinasikan Peradaban Ahlulbait

Alfaqir Ribut Nur Huda

Opini207 Views
banner 468x60

Oleh: Alfaqir Ribut Nur Huda

Ahlulbait sering diasumsikan sebagai cucu atau dzurriyah Nabi Muhammad Saw. Anggapan ini banyak dinilai tidak tepat karena menyelisihi makna Ahlulbait menurut Nabi sendiri, yaitu sekelompok orang suci yang disebutkan oleh al-Qur’an.

banner 336x280

Dapat dikatakan dengan tegas bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang digolongkan sebagai Ahlul Kisa; Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, bukan cucu Nabi apalagi para Habib yang nasabnya banyak dipersoalkan. Jika ada orang zaman sekarang yang mengaku dirinya sebagai Ahlulbait maka hal itu semu atau fatamorgana. Polemik nasab Ba’alawi yang terus menghangat menyingkap banyak hal-hal yang tertutupi dan banyaknya halusinansi yang merusakan standart keilmuan dalam Islam, bahkan menjadikan ajaran Islam sebagai dogma yang jauh dari kata mencerdaskan dan mencerahkan.

Terlepas dari itu semua, istilah Peradaban Ahlulbait merupakan sebuah istilah atau penyebutan baru untuk menjelaskan karakter sebuah peradaban yang mengusung nilai pendidikan, ekonomi dan aturan hidup masyarakat sebagai ekspresi kebenaran, keadilan dan perekonomian (materi) menurut Sunnah Nabi, keilmuan dan tasawuf dari jalur Sayidina Ali sebagai inspirator. Jalur ini membawa karakter moderat antara tekstualis dan spiritualis. Moderat dalam arti posisi tengah dari dua tipologi dimaksud, yaitu posisi rasionalis. Senada dengan prinsip bahwa agama adalah akal yang tercerahkan, tentunya oleh Sunnah (tekstualisme) dan Bashirah (spiritualisme), bukan oleh hasrat atau syahwat akal. Jadi penyebutan Ahlulbait disini tidak hanya diartikan sebagai nasab biologis, melainkan sanad kepemimpinan spiritual.

Dengan lebih kongkrit, peradaban Ahlulbait adalah sanad tata nilai yang bersambung kepada Sayidina Ali dan dapat diurai secara ilmiah sebagai cerminkan Sunnah Nabi (bukan hadis), landasan sikap keterbukaan, toleransi dan harmonisasi umat Islam di tengah pergumulan politik yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam hingga era mutakhir ini. Pada masa kekhilafahan Sayidina Ali, peradaban Ahlulbait terinstitusi di Kufah dan melanjutkan formulasi peradaban Nabi sebagai asas spiritual dan akhlak (serta fikih).

Asas atau spirit Sunnah ini kemudian melembaga menjadi tarekat-tarekat Sufi di kalangan Sunni dan ajaran Imam-Imam Ahlulbait dalam tradisi Syiah.
Kalangan Sunnah yang mewarisi tradisi tarekat atau tasawuf tersebut selalu disertai dengan penyebutan jamaah. Kata jamaah yang melekat pada penyebutan Sunni memiki hubungan asal usul dengan sikap cucu Nabi sekaligus Ahlulbait, yaitu Sayidina Hasan yang mengundurkan diri dari tahta kekhalifahan dan menyerahkannya kepada Muawiyah. Penyerahan itu bukan karena kalah, melainkan sebagai upaya menghentikan pertikaian. Pengunduran diri ini kemudian dikenal dengan Am al-Jamaah atau tahun persatuan.
Jadi, secara subtansial, Aswaja mengacu pada Sunnah (kebenaran) dan Jamaah (persatuan). Namun, Aswaja saat ini merupakan representasi pecinta Ahlulbait sebagaimana Asyraf (baca: Syiah), Sufi-Muhaddis dan Sufi-Hakim, bukan sekedar Ahlussunnah (Sunni) sebagaimana Wahabi juga mengaku-ngaku sebagai Sunni.

KH. Maimoen Zubair dalam hal pengakuan ini menyebut bahwa “di saat Raja Abdul Aziz menjadi raja yang berkuasa di Tanah Arab, maka banyak perubahan-perubahan yang terjadi, yang asalnya dari aliran para Asyraf dan Ahlussunnah wal Jamaah menjadi berlakunya aliran Wahhabi secara paksa”. Pasalnya, Wahabi dan politik kerajaan Saudi yang anti tasawuf membentuk karakter ajaran yang berbeda dengan para pecinta Ahlulbait baik dari kalangan Syiah maupun Aswaja, meskipun sebenarnya mereka adalah pemilik sanad spiritual dan akhlak yang menjadi pondasi peradaban, bukan hanya sanad riwayah dan diroyah dalam khazanah hadis. Disini letak pentingnya memahami peradaban Ahlulbait agar analisa teks, pendekatan intuisi dan logika rasional bisa menembus pergumulan politik lalu dan sampai pada sanad peradaban Islam masa depan yang otentik; tinggi dan bersih.

Di tengah pergumulan politik umat Islam, upaya penyatuan pernah dilakukan oleh Muāwiyah bin Abu Sufyan ketika berhasil meraih tahta dan menyingkirkan Sayidina Ali bin Thalib. Muāwiyah ingin masyarakat berpikiran bahwa kepemimpinannya sudah menjadi suratan takdir dari Allah dan meminta al-Mughirah bin Syubah agar menuliskan doa khusus setelah shalat yang pernah dia dengar dari Nabi untuk disebarluaskan ke masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat berbaik sangka kepada dirinya. Tentu sikap politik Muawiyah ini tidak lepas dari koreksi sejarah sebagaimana saat ini Saudi Arabia melakukan koreksi, bahkan berusaha mencari alternatif ideologinya sendiri. Setidaknya, pendekatan Islam politik harus digantikan dengan politik Islam.

Pada tahun 2024, Saudi Arabia menfasilitasi pertemuan dalam rangka penyatuan umat Islam sedunia, terutama Sunni dan Syiah yang dilakukan oleh Liga Muslim Dunia di Mekkah, dengan mengangkat tema; “Membangun Jembatan Madzhab-Madzhab Islam”. Tema segar ini mengingatkan tugas besar institusi keulamaan, diantaranya NU dengan narasi fikih peradaban yang ditawarkan. Tidak dipungkiri bahwa narasi besar ini membutuhkan jalan keterbukaan, pencarian titik temu dan merumuskan temuan tersebut dalam bingkai sanad peradaban. Setidaknya, titik temu tersebut dapat dikontruksi menjadi peradaban Ahlulbait. Selain bisa menghilangkan kejenuhan intelektual, juga mendorong transformasi pola pikir (mind-set) dan mentalitas umat Islam sehingga kita bisa lapang dada untuk bersatu melalui paradigma dan generasi mendatang bisa hidup harmonis dan lebih produktif.

Pembahasan singkat ini tidak dimaksudkan untuk “sok paham”, apalagi membuka jalan buntu dalam polemik nasab. Dari sinilah  pembuat kolom ini menawarkan jalan tengah untuk segala ketidakseimbangan dengan resiko-resiko yang paling ringan. Prinsipnya, tidak ada jalan buntu, yang ada adalah jalan tengah. Adapun jalan tengah pertama adalah keadilan (inshof) sejak pikiran. Setelah itu, memahami  kenyataan bahwa cucu  (dzurriyah) dan Ahlulbait adalah dua hal yang berbeda.

Wallāhu Alam.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *