Kapitalisasi Pendidikan Ala Nadiem Makarim

Mas Menteri Yang Pintar

banner 468x60

*Digitalisasi Pendidikan atau Komersialisasi Pendidikan? Refleksi Pasca-Era Nadiem Makarim*

*Oleh: Indria Febriansyah, S.E., M.H.*

banner 336x280

Proyek Ambisius Tanpa Ruh

Era Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek (2019-2024) diwarnai jargon “Merdeka Belajar” yang diklaim sebagai pengejawantahan ajaran Ki Hajar Dewantara. Namun dalam praktiknya, digitalisasi pendidikan justru menjadi alat kapitalisasi* yang mengorbankan esensi pembelajaran. Pasca-turunnya Nadiem, dampak kebijakannya terasa seperti *luka bakar yang meninggalkan parut dalam sistem pendidikan nasional.

– Tiga Dosa Besar Digitalisasi Pendidikan

1. Korupsi Chromebook: Proyek Rp1,3 Triliun yang Menguap

– Pengadaan 240.000 laptop lewat PT. BTI (Bina Teknologi Informatika) terbukti melanggar prosedur (BPK, 2023).

– Perangkat yang diterima sekolah tidak sesuai spesifikasi, bahkan ada yang rusak sebelum dipakai.

“Bantuan teknologi” berubah jadi ajang perampokan uang rakyat.

2. Digitalisasi Tanpa Jiwa: Guru Dijadikan Operator Sistem

– Guru dipaksa mengisi 8+ aplikasi berbeda setiap hari (Dapodik, Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, dll).

– Survei PGRI (2024): 78% guru mengeluh waktu mengajar berkurang 4 jam/hari hanya untuk administrasi digital.

Guru bukan lagi pendidik, tapi sekretaris data.

3. Merdeka Belajar vs Beli Silabus

– Platform “Merdeka Mengajar” justru memperdagangkan modul berbayar (Rp50.000-Rp500.000/paket).

– Sekolah miskin terpaksa memakai konten seadanya, memperlebar kesenjangan kualitas.

– Dampak Sistemik: Pendidikan yang Kehilangan Arah.

| Masalah | Bukti Nyata |

| Guru Stres Administratif | 65% guru alami burnout (Kemenkes, 2024) |

| Pembelajaran Semu| Siswa hanya foto pakai Chromebook untuk laporan, tanpa interaksi substansial |

| Kesenjangan Digital| Hanya 12% sekolah di Papua punya infrastruktur memadai (Kemendikbud, 2023) |

Solusi: Kembali ke Khittah Pendidikan

1. Hapus Aplikasi Berlapis!

– Sinkronisasi seluruh sistem dalam satu portal terintegrasi.

– Kurangi beban laporan guru maksimal 2 jam/minggu.

2. Audit Total Proyek Digital

– Investigasi seluruh pengadaan teknologi pendidikan 2020-2024.

– Tuntut pihak terlibat korupsi Chromebook.

3. Teknologi sebagai Alat, Bukan Tujuan

– Kembalikan fokus pada interaksi guru-siswa.

– Alokasikan anggaran untuk pelatihan pedagogik, bukan hanya gadget.

4. Merdeka Belajar yang Hakiki

– Berikan otonomi guru mengembangkan kurikulum kontekstual.

– Stop komersialisasi platform edukasi!

Pendidikan Bukan Startup

Digitalisasi era Nadiem telah mengubah sekolah menjadi laboratorium eksperimen venture capital. Proyek-proyek “real-time reporting” hanyalah kamuflase untuk mengejar KPI semu, sementara guru sibuk mengisi form digital di ruang server yang panas, sementara kelas-kelas kosong tanpa bimbingan.

Pendidikan bukan soal berapa gigabyte data terupload, tapi berapa nilai karakter tertanam. Bukan soal kecepatan bandwidth, tapi kedalaman makna yang dibagi.

Sudah waktunya kita hentikan pembodohan sistematis ini. Kembalikan ruh pendidikan pada guru sebagai *sang pemimpin belajar*, bukan operator IT!

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *