In The Air Tonight: Phil Collins, Jokowi, dan Kejujuran, Antara Lirik dan Kebijakan

Opini86 Views
banner 468x60

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber

Phil Collins, musisi legendaris dunia, dan Presiden Joko Widodo, pemimpin Indonesia, adalah dua sosok yang sangat berbeda, terutama dalam hal kejujuran menyampaikan pesan kepada publik. Collins, melalui lagu ikoniknya *In The Air Tonight* yang dirilis pada 1981, menciptakan banyak persepsi di kalangan pendengar, terutama para penggemarnya dan pengikut setia band Genesis. Sejak lagu ini diluncurkan, spekulasi terus berkembang tentang kisah di balik liriknya, mulai dari dugaan bahwa Collins menyaksikan seseorang tenggelam dan tidak menolong hingga cerita yang semakin kompleks. Namun, semua spekulasi ini tak membuat Collins terganggu.

banner 336x280

Dalam setiap kesempatan, Phil Collins dengan jujur mengakui bahwa dia sendiri tidak benar-benar tahu apa maksud dari lirik tersebut. Baginya, *In The Air Tonight* adalah ungkapan kemarahan dan kepahitan akibat perceraiannya, bukan kisah misterius yang diselubungi fakta tersembunyi. Collins tidak ragu untuk menyampaikan kejujuran ini kepada publik, bahkan jika itu berarti ia terlihat tidak tahu persis apa yang ia tulis. Sikap ini tidak membuatnya ditinggalkan oleh para penggemar, justru sebaliknya, mereka menghargai kejujurannya sebagai seniman yang terbuka tentang proses kreatifnya.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo menunjukkan pendekatan yang berbeda. Ketidakjelasan dalam ucapannya kerap menimbulkan kebingungan di masyarakat. Salah satu contoh, Jokowi, yang pernah menyatakan dirinya tidak memikirkan soal pencalonan presiden dan ingin fokus menyelesaikan masalah banjir serta kemacetan di Jakarta, justru kemudian sibuk berkampanye untuk Pilpres 2014. Janjinya untuk menuntaskan masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta juga berakhir dengan keikutsertaannya dalam pemilihan presiden. Ucapan dan tindakannya sering kali tidak sinkron, menciptakan ketidakpastian di kalangan masyarakat.

Sama halnya dengan ketidakpahaman Phil Collins terhadap lirik *In The Air Tonight*, publik sering merasa kesulitan memahami arah kebijakan Jokowi. Ia bisa berbicara sesuatu hari ini, esoknya berbicara hal yang berbeda, dan ketika kebijakannya dijalankan, hasilnya sering kali jauh dari harapan. Contohnya, komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepoyisme (KKN) atau menjaga lingkungan, yang tidak selalu sejalan dengan kebijakan yang ia implementasikan. Publik, seperti halnya penggemar Collins yang menafsirkan lirik lagu tanpa kejelasan, terus bertanya-tanya mengenai arah kebijakan yang diambil.

Ketidakjelasan dalam musik maupun politik membuka ruang untuk spekulasi dan interpretasi yang beragam. Dalam hal musik, ini mungkin menciptakan daya tarik artistik. Namun, dalam dunia politik, ketidakjelasan kebijakan dapat mengarah pada kebingungan dan ketidakpercayaan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada banyak contoh pemimpin dunia yang kerap berbohong dan kebijakannya merugikan rakyat. Salah satu contoh nyata adalah mantan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, yang berkali-kali memberikan janji kosong mengenai upaya pemulihan ekonomi negaranya. Di bawah pemerintahannya, rakyat dijanjikan stabilitas ekonomi, namun pada kenyataannya Venezuela justru mengalami hiperinflasi yang parah, kelangkaan makanan, dan jatuhnya nilai mata uang. Kebijakan Maduro yang terus menerus menyangkal realitas ekonomi negara itu menyebabkan penderitaan besar bagi rakyatnya.

Contoh lain adalah Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina yang berkuasa selama lebih dari dua dekade. Pada awal masa pemerintahannya, Marcos berjanji untuk membawa kemakmuran dan pembangunan bagi rakyat Filipina, tetapi kenyataannya kekuasaannya ditandai dengan korupsi besar-besaran, penggelapan dana publik, dan pelanggaran hak asasi manusia. Janji-janjinya tentang stabilitas dan kemajuan hanya berakhir dengan kemerosotan ekonomi, utang negara yang melambung, dan penderitaan rakyat. Akhir tragisnya tiba ketika ia digulingkan melalui Revolusi Kekuatan Rakyat pada tahun 1986, dan Marcos terpaksa melarikan diri dari negaranya, meninggalkan Filipina dalam keadaan krisis.

Kejujuran Phil Collins justru memperkuat hubungan emosional dengan penggemarnya, sementara ketidakpastian dari Jokowi, juga pemimpin-pemimpin yang suka berbohong seperti Maduro dan Marcos, hanya memperburuk hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang mereka pimpin. Pada akhirnya, rakyat yang dirugikan dari kebijakan yang tidak transparan dan berbohong selalu menanggung beban paling berat, dan sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin seperti ini sering berakhir dengan tragis.

_Kawasan Tugu Monas, Jakarta Pusat, Kamis 12 September 2024, 02.09 Wib._

_Pesan terkirim ke sekitar ribuan netizen melalui WhatsApp Group by Blasting Algoritma Cloud System “Agusto Sulistio” The Activist Cyber._

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *