BEM Nusantara DIY Tegas Tolak Soeharto Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasiona
Yogyakarta — Koordinator BEM Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gunawan, melalui akun Instagram resmi @bemnusdiy.official, menegaskan sikap tegas menolak wacana pengangkatan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Menurut Gunawan, penolakan tersebut bukan didasari kebencian personal, melainkan merupakan bentuk tanggung jawab moral dan epistemik untuk menjaga kejujuran sejarah bangsa.
“Kami menolak Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional karena sejarah pemerintahannya mencatat banyak pelanggaran HAM, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta represi politik yang masif. Penolakan ini adalah upaya menjaga integritas kebenaran sejarah, bukan sentimen politik,” ujar Gunawan di Yogyakarta, Sabtu (9/11/2025).
Penolakan Berdasarkan Kajian Historis dan Moral
Gunawan menjelaskan, berdasarkan hasil kajian yang merujuk pada berbagai penelitian ilmiah seperti Agustin & Fahruddin (2025), Halili (2016), Robison (2006), Elson (2001), serta McGlynn & Sulistyo (2007), terdapat empat alasan utama penolakan terhadap wacana pemberian gelar tersebut, yakni:
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada masa Orde Baru.
- Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terlembaga.
- Distorsi sejarah dan ingatan kolektif bangsa.
- Ketidakselarasan moral dan hukum dengan kriteria pahlawan nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009.
“Kepahlawanan tidak bisa diukur dari keberhasilan ekonomi semata. PDB meningkat, tetapi kebebasan rakyat dibungkam. Kebenaran sejarah harus mempertimbangkan dimensi moral dan kemanusiaan,” tegasnya.
Pelanggaran HAM dan Korupsi Sistemik
Gunawan menyoroti berbagai pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, hingga penculikan aktivis 1997–1998. Menurutnya, seluruh peristiwa tersebut menunjukkan pola kekerasan negara yang tidak pernah dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ia juga mengutip laporan Transparency International (2004) yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup abad ke-20, dengan dugaan kerugian negara mencapai USD 15–35 miliar.
“Fakta itu cukup membuktikan bahwa kriteria integritas dan keteladanan sebagai pahlawan jelas tidak terpenuhi,” ujarnya.
Distorsi Sejarah dan Ancaman terhadap Generasi Muda
BEM Nusantara DIY menilai bahwa rezim Orde Baru telah melakukan monopoli narasi sejarah, menampilkan Soeharto semata sebagai “Bapak Pembangunan” tanpa ruang bagi kritik.
Gunawan menegaskan, apabila gelar pahlawan diberikan, negara justru akan menegasikan pengalaman para korban dan menghapus memori kolektif bangsa.
“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat Reformasi 1998 dan menyesatkan pendidikan sejarah generasi muda,” ujarnya.
Menjaga Nilai Reformasi dan Etika Kepemimpinan
BEM Nusantara DIY menilai, pemberian penghargaan kepada figur yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan praktik korupsi berat akan menjadi preseden buruk bagi etika kepemimpinan nasional.
“Jika pelanggaran hukum dan moral dapat ditebus dengan capaian ekonomi, bangsa ini kehilangan arah moral. Kepahlawanan harus dilihat dari keberanian menegakkan keadilan, bukan dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki,” tegas Gunawan.
BEM Nusantara DIY menegaskan bahwa penolakan terhadap Soeharto bukanlah aksi kebencian, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan intelektual untuk memastikan bahwa gelar kehormatan negara hanya diberikan kepada sosok yang benar-benar memenuhi kriteria moral, hukum, dan historis.














