Kitabaru.com – Dokumen “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers” menyoroti kompleksitas dinamika perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia, dengan fokus pada regulasi proteksionis, hambatan non-tarif, dan ketidakselarasan dengan komitmen multilateral. Berikut adalah poin kunci yang ditekankan:
## Kebijakan Tarif dan Pajak
Indonesia menerapkan **tarif rata-rata Most-Favored Nation (MFN) sebesar 8%** pada 2023, dengan variasi lebih tinggi untuk produk pertanian (8.6%) dan non-pertanian (7.9%)[1]. Namun, tarif terikat (bound rates) di WTO mencapai rata-rata 37.1%, menciptakan ketidakpastian bagi eksportir AS. Perubahan signifikan terjadi melalui **Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/2023**, yang menurunkan ambang bebas bea masuk untuk barang konsumen dari $75 menjadi $3 dan mengenakan tarif baru pada kosmetik (10-15%), sepeda (25-40%), dan jam tangan (10%)[1]. AS mengkritik penerapan tarif **10% untuk peralatan jaringan (HS 8517)** yang seharusnya 0% sesuai komitmen WTO[1].
Di sektor pajak, **PMK No. 41/2022** memperluas cakupan pajak penghasilan Artikel 22 hingga 1.188 HS code dengan tarif 7.5%, menambah beban administratif impor[1]. Kebijakan pajak cukai yang diskriminatif juga menjadi sorotan, di mana minuman beralkohol impor dikenakan tarif 24-52% lebih tinggi daripada produk domestik[1].
## Hambatan Non-Tarif dan Perizinan Impor
Sistem perizinan impor Indonesia dinilai **birokratis dan tidak transparan**. **Peraturan Presiden No. 61/2024** tentang neraca komoditas membatasi izin impor berdasarkan penilaian pemerintah terhadap pasokan dan permintaan domestik[1]. Kebijakan ini awalnya mencakup 5 komoditas (gula, beras, ikan, daging, garam), kemudian diperluas ke 19 produk pada 2023, serta bawang putih pada 2025[1]. **MOT Regulation 36/2023** sempat memicu kemacetan kontainer di pelabuhan akibat persyaratan “Persetujuan Teknis” yang rumit, sebelum direvisi melalui MOT Regulation 8/2024[1].
Untuk produk pertanian, **MOA Regulation No. 5/2022** mewajibkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), sementara impor gula mentah hanya diizinkan untuk pabrik yang memiliki kapasitas menganggur[1]. AS menang dalam sengketa WTO tahun 2016 terkait pembatasan impor hortikultura, tetapi implementasi regulasi pasca-kemenangan tetap bermasalah[1].
## Persyaratan Teknis dan Sertifikasi Halal
**UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal** mewajibkan sertifikasi untuk 11 kategori produk, termasuk makanan, kosmetik, dan perangkat medis[1]. AS mengkritik kurangnya konsultasi dalam penyusunan regulasi turunan, seperti **MORA Decree No. 748/2021** yang memperluas cakupan produk halal, serta **BPJPH Regulation No. 3/2023** yang memberlakukan persyaratan audit fasilitas dan rasio auditor-produk yang memberatkan[1]. Meski tenggat sertifikasi untuk makanan/minuman diperpanjang hingga 2026 melalui **GR No. 42/2024**, perusahaan AS masih menghadapi biaya registrasi fasilitas melebihi $10.000 untuk produk hewani[1].
## Pengadaan Pemerintah dan Proteksi Industri Domestik
**Perpres No. 54/2010** dan **No. 38/2015** mewajibkan penggunaan konten lokal minimal 40% dalam pengadaan pemerintah[1]. Di sektor kesehatan, **79 kategori alat medis** dilarang diimpor sejak 2021 untuk mendorong produksi domestik, tanpa konsultasi sebelumnya[1]. Kebijakan serupa berlaku di sektor pertahanan melalui **Perpres No. 76/2014** yang mewajibkan alih teknologi dan kompensasi perdagangan[1].
## Perlindungan Kekayaan Intelektual
Indonesia tetap masuk **Priority Watch List 2024** karena pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek di pasar fisik (e.g., Pasar Mangga Dua) maupun platform digital[1]. Meski ada perluasan satgas penegakan hukum, implementasi perlindungan data uji untuk produk farmasi belum memenuhi standar TRIPS[1].
## Hambatan Layanan dan Digital
Di sektor keuangan, **BI Regulation No. 19/08/2017** membatasi kepemilikan asing di perusahaan switching National Payment Gateway (NPG) hingga 20%[1]. Sektor telekomunikasi memberlakukan **persyaratan konten lokal 35-50%** untuk perangkat 4G-LTE dan peralatan jaringan[1]. **GR No. 71/2019** mewajibkan operator sistem elektronik asing mendaftar ke MCIT dan mematuhi permintaan blokir konten tanpa mekanisme banding yang jelas[1].
## Pembatasan Investasi dan Ekspor
**Perpres No. 10/2021** melarang kepemilikan asing di 20 sektor strategis, termasuk penyiaran (20%) dan transportasi (49%)[1]. Perusahaan tambang asing wajib divestasi 51% saham dalam 15-20 tahun sesuai **GR No. 96/2021**[1]. Kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel (2009 Mining Law) yang dipersengketakan di WTO juga tetap berlaku, meski panel WTO memutuskan hal ini inkonsisten dengan aturan GATT 1994[1].
## Isu Lain: Subsidi dan Korupsi
Indonesia hanya menyampaikan **1 notifikasi subsidi ke WTO sejak 1995**, dengan insentif fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tidak transparan[1]. Korupsi, birokrasi lambat, dan inkonsistensi penegakan kontrak tetap menjadi hambatan utama investasi asing[1].
## Kesimpulan
Laporan ini menggarisbawahi **pola proteksionisme sistemik** Indonesia melalui kombinasi tarif tinggi, hambatan non-tarif dinamis, dan preferensi domestik dalam pengadaan pemerintah. Meski upaya liberalisasi seperti revisi Daftar Negatif Investasi patut diapresiasi, ketidakpatuhan terhadap notifikasi WTO dan praktik customs valuation yang diskriminatif (e.g., penggunaan reference price alih-alih nilai transaksi) memperburuk iklim usaha[1]. Rekomendasi AS mencakup peningkatan transparansi dalam penyusunan regulasi, penghapusan persyaratan konten lokal, dan reformasi sistem kepabeanan sesuai CVA WTO.
Citations:
[1] 250402_US-Foreign-Trade-Barrier-1.pdf https://ppl-ai-file-upload.s3.amazonaws.com/web/direct-files/42162317/9937acb4-970a-4903-816f-5c35f6e31860/250402_US-Foreign-Trade-Barrier-1.pdf