Politik Idealisme vs Realitas Kekuasaan: Tantangan Partai Prima dan Agus Jabo

Penulis: Ki Tarto Sentono. Ir., Drs., M. Pd., Dr. Dosen Universitas PGRI Yogyakarta

Opini31 Views
banner 468x60

Kitabaru.com – Pernyataan Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Agus Jabo, dalam podcast Faisal Akbar tentang komitmen untuk tidak menggunakan kekuasaan demi kepentingan partai, patut diapresiasi sebagai bentuk idealisme politik yang langka. Namun, di saat yang sama, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan kritis. bisakah kekuasaan benar-benar dipisahkan dari kepentingan partai, terutama bagi partai berbasis gerakan seperti PRIMA?*

Agus Jabo, dengan latar belakang 30 tahun pergerakan—mulai dari mahasiswa, advokasi petani, hingga buruh dan pernah merambah Partai Rakyat Demokratik—tampak konsisten dengan narasi “politik kerakyatan”. PRIMA sendiri lahir dari rahim organisasi akar rumput seperti Liga Mahasiswa Indonesia, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, dan Serikat Tani Nelayan. Basis inilah yang membedakannya dari partai politik konvensional yang kerap terjebak dalam pragmatisme kekuasaan. Namun, ketika pemimpin partai menyatakan akan memprioritaskan kesejahteraan rakyat *tanpa memanfaatkan kekuasaan untuk partai*, ada risiko terputusnya hubungan simbiosis antara partai dan basis pendukungnya.

banner 336x280

Kekuasaan dan Dilema Partai Gerakan

PRIMA bukan partai elite dengan pendanaan oligarkis, melainkan partai yang digerakkan oleh militansi aktivis dan kaum tertindas. Ketika Agus Jabo berjanji tidak akan mempolitisasi kekuasaan untuk partai, pertanyaannya adalah: *bagaimana PRIMA akan bertahan secara elektoral tanpa sumber daya politik?* Sistem demokrasi kita hari ini mensyaratkan partai untuk memenuhi *parliamentary threshold*, pada pemilu kemarin prima dijegal tidak bisa ikut pemilu, karena minimnya infrastruktur politik kuat. Jika PRIMA menolak memanfaatkan kekuasaan untuk penguatan partai, dari mana ia akan mendapatkan dana dan pengaruh untuk tetap relevan?

Di sisi lain, jika PRIMA menggunakan kekuasaan untuk membangun jaringan politik—seperti partai lain—apakah ia tidak akan terjebak dalam hipokrisi yang sama dengan partai-partai yang dikritiknya? Ini adalah dilema klasik partai gerakan: *tetap murni tapi terpinggirkan, atau berkompromi dengan sistem tapi kehilangan identitas*.

Mengabaikan Partai = Mengabaikan Basis?

Pernyataan Agus Jabo juga berpotensi mengecewakan para kader dan simpatisan yang telah berjuang mengantarkannya ke kekuasaan. Mereka mungkin berharap bahwa dengan kekuasaan, PRIMA akan memperjuangkan kebijakan pro-rakyat sekaligus memperkuat organisasi. Namun, jika kekuasaan hanya digunakan untuk “kesejahteraan rakyat” dalam artian luas—tanpa memastikan keberlanjutan partai—maka PRIMA bisa kehilangan daya tahan politik.

Yang lebih berbahaya adalah jika PRIMA, dalam upayanya “memutus mata rantai kemiskinan”, justru menjadi asing di mata rakyat miskin yang selama ini menjadi basisnya. Rakyat miskin butuh wadah politik yang tidak hanya berkoar tentang keadilan, tetapi juga mampu bersaing dalam panggung elektoral. Jika PRIMA lemah secara struktural karena menolak memainkan permainan politik praktis, maka ia hanya akan menjadi *footnote* dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Perlunya Keseimbangan

Agus Jabo dan PRIMA berada di persimpangan: tetap setia pada idealisme gerakan atau beradaptasi dengan realitas politik. Yang dibutuhkan bukanlah penolakan total terhadap power politics, melainkan strategi untuk menggunakan kekuasaan secara etis—memperjuangkan rakyat tanpa mengorbankan keberlanjutan partai.

Jika PRIMA ingin benar-benar memutus mata rantai kemiskinan, ia harus cukup kuat untuk tetap ada di peta politik. Tanpa itu, semua cita-cita hanyalah utopia yang akan lenyap bersama pudarnya relevansi partai.

**Kekuasaan memang bukan tujuan, tapi tanpa kekuasaan, perubahan sistematik hanyalah mimpi.**

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *