Para Wamen Jangan Warisi Beban Politik ke Presiden

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

banner 468x60

Kitabaru.com – Di tengah semangat efisiensi birokrasi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo, justru muncul manuver politik yang berpotensi mempermalukan arah kebijakan beliau, yakni mempertahankan jabatan rangkap wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Argumen yang dipakai pun sangat menggelikan, katanya, pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) tak perlu dijalankan karena bukan bagian dari amar putusan.

Padahal, publik paham bahwa efisiensi sejati bukan sekadar hemat anggaran, tapi juga soal moralitas tata kelola. Jika jabatan komisaris hanya dijadikan “gaji tambahan” bagi pejabat, lalu di mana letak teladan yang ingin ditunjukkan?

banner 336x280

Yang lebih menyedihkan, pernyataan bahwa pertimbangan MK tak mengikat justru mereduksi wibawa konstitusi. Seolah hukum hanya akan ditaati kalau memaksa secara eksplisit.

Padahal, sejarah membuktikan bahwa negara ini sudah berkali-kali mengikuti pertimbangan MK tanpa harus menunggu amar yang tegas.

Berikut lima preseden hukum yang jelas menunjukkan bahwa pertimbangan MK memang menjadi dasar kebijakan teknis berbagai institusi meski tidak tertulis dalam amar:

1. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, dimana amarnya berbunyi: Frasa “dikuasai oleh negara” tidak mengikat untuk hutan adat. Sementara pertimbangan-nya berbunyi: Pengakuan hak masyarakat adat wajib dijamin lewat perda.

Terlihat tindak lanjut yang lahir adalah Permendagri No. 52/2014, berisi pengakuan komunitas adat. Lalu ada PermenLHK No. 21/2019 tentang Penetapan wilayah adat. Kesimpulan: valid bahwa pertimbangan MK menjadi dasar kebijakan sektoral.

2. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja, dimana isi amar: Inkonsitusional bersyarat, tetap berlaku 2 tahun. Pertimbangan-nya: Metode omnibus cacat formil, partisipasi publik diabaikan. Terdeteksi tindak lanjut lahir UU No. 6/2023: Proses legislasi ulang sesuai asas keterbukaan. Kesimpulan: valid bahwa pertimbangan MK memicu revisi menyeluruh UU.

3. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Nikah dimana bunyi amar: Anak luar nikah berhak atas hubungan perdata dengan ayah biologis. Isi pertimbangan: Larangan pengakuan melanggar hak anak sesuai asal 28B UUD 1945. Tindak lanjutnya, terbit SEMA No. 3/2018: Pengadilan wajib membuka akses hak perdata. Kesimpulannya: valid bahwa pertimbangan MK diadopsi langsung oleh MA.

4. Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tentang Masa Jabatan Kepala Daerah bunyi amar: Aturan pemotongan masa jabatan tidak berlaku di Pilkada Serentak. Sementara isi pertimbangan: Kepala daerah harus tetap menjabat 5 tahun penuh. Tindak lanjutnya, terbit PKPU No. 6/2015: Masa jabatan disesuaikan sesuai amanat MK. Kesimpulan: valid regulasi diubah dengan menyesuaikan pertimbangan MK.

5. Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 terkait Eks Napi Koruptor Caleg, bunyi amar: Larangan eks koruptor nyaleg dinyatakan inkonstitusional. Isi pertimbangan: Moralitas dan transparansi harus dijamin. Tindak lanjut: lahir PKPU No. 20/2018, KPU wajibkan riwayat pidana korupsi diumumkan. Kesimpulan: valid, KPU menyerap substansi pertimbangan MK.

Lima kesimpulan tersebut 100% bahwa setiap pertimbangan MK di atas berdampak nyata pada regulasi teknis. Pola konsistennya adalah negara menindaklanjuti pertimbangan MK sebagai bagian dari etika konstitusional.

Kelima kasus di atas membuktikan bahwa pertimbangan MK memiliki daya dorong normatif yang kuat, dan negara berkali-kali menindaklanjutinya tanpa harus menunggu kewajiban formal. Tanpa harus berdalih apapun! Kok terkait Wamen malah penuh resistensi? Kenapa sampai sedemikian iya?

Karena itu, jika tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo ditandai oleh niat membenahi, maka tahun kedua harus ditopang oleh kejelasan sikap, yakni jangan wariskan beban politik kepada Presiden lewat praktik jabatan ganda yang sudah dikritisi oleh MK.

Efisiensi bukan berarti semata-mata mengurangi jabatan menteri, namun bukan juga mengkompensasi pendapatan Wamen lewat BUMN. Justru hal seperti itu yang bertolak belakang dengan janji Presiden Prabowo bahwa negara harus dikelola dengan hemat, gesit, dan bersih.

Kalau ada wakil menteri yang merasa kurang besar gajinya, maka solusinya bukan menambah jabatan, melainkan merombak sistem kompensasi secara adil dan transparan.

Sudahi pembenaran berlapis. Jangan jadikan celah hukum sebagai ruang kompromi moral. Presiden sudah melangkah dengan niat baik membenahi manajemen negara. Jangan ada anak buah yang menanam ranjau politik di bawah tapak kaki pemimpin sendiri.

*Karena jika kita sungguh menghormati Mahkamah Konstitusi, maka bukan hanya amarnya yang ditaati, tapi juga pertimbangannya yang dihayati!*

Dan jika kita benar-benar ingin membantu Presiden, maka buktikan lewat teladan, bukan lewat akal-akalan jabatan! (*)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *