Kitabaru.com, Jakarta – Jelang aksi besar-besaran buruh pada 28 Agustus 2025, Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia (KSTI) menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan kaum pekerja. Menurut Ketua Umum KSTI, Indria Febriansyah, kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja terbukti tidak adil bagi buruh dan hanya menguntungkan pemilik modal.
“Omnibus law dibuat dengan semangat liberalisasi pasar tenaga kerja. Buruh diposisikan sekadar faktor produksi, bukan subjek pembangunan. Ini berlawanan dengan amanat Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945,” ujar Indria.
Tuntutan Utama Buruh
Dalam aksi yang direncanakan serentak di berbagai daerah, buruh membawa lima tuntutan utama:
- Kenaikan Upah Minimum Nasional 8,5–10,5% mulai 2026, berdasarkan inflasi (3,26%) dan pertumbuhan ekonomi (5,1–5,2%), serta merujuk putusan MK Nomor 168.
- Penghapusan Outsourcing pada pekerjaan inti dan pencabutan PP No. 35 Tahun 2021.
- Pembentukan Satgas Pencegahan PHK massal di sektor industri.
- Reformasi Pajak Perburuhan, termasuk PTKP Rp7,5 juta per bulan dan penghapusan pajak atas pesangon, THR, serta JHT.
- Legislasi Pro-Pekerja, seperti pengesahan RUU Ketenagakerjaan tanpa omnibus law, dukungan pada RUU Perampasan Aset, dan revisi RUU Pemilu.
Teori Pengupahan Modern yang Berkeadilan
Menurut teori Pengupahan Berkeadilan Modern (Modern Just Wage Theory), upah seharusnya ditentukan bukan hanya oleh mekanisme pasar, tetapi juga oleh:
- Kebutuhan hidup layak (living wage) pekerja dan keluarganya.
- Produktivitas tenaga kerja yang menyumbang keuntungan perusahaan.
- Keadilan distributif agar hasil pembangunan tidak terkonsentrasi pada pemilik modal.
- Perlindungan sosial sebagai instrumen negara dalam menjaga keseimbangan.
Konsep ini sejalan dengan ILO Convention No. 131 tentang Penetapan Upah Minimum, yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan pekerja dan kondisi ekonomi nasional.
Indria Febriansyah menegaskan, “Kalau pengusaha hanya memakai logika efisiensi biaya, buruh akan terus ditekan upahnya. Padahal teori modern upah menempatkan pekerja sebagai manusia yang berhak atas kesejahteraan, bukan sekadar biaya produksi.”
Momentum Tekanan Politik
Aksi buruh 28 Agustus diprediksi menjadi momentum politik penting. Dengan dukungan organisasi masyarakat sipil seperti Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia, tuntutan buruh tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga menuntut keberpihakan negara terhadap rakyat pekerja di tengah ketidakpastian global.
“Negara harus hadir. Kalau terus dibiarkan, jurang ketimpangan akan semakin lebar. Pemerintah Prabowo perlu mengambil langkah korektif agar Indonesia tidak jatuh pada model pembangunan yang eksploitatif,” pungkas Indria.