Indria Febriansyah: Tanpa Guru Yang Dihormati, Tak Ada Bangsa Yang Bermartabat.

Terima Kasih Guru

banner 468x60

Kehilangan Ruh Pendidikan dan Krisis Adab Murid di Era Kemerdekaan Tanpa Batas
Oleh: Indria Febriansyah
Pengamat Pendidikan, Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia,
Koordinator Aliansi Masyarakat Pendukung Presiden Prabowo

banner 336x280

Kasus yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Banten, di mana seorang kepala sekolah menampar murid yang kedapatan merokok di kantin sekolah, bukan sekadar persoalan pelanggaran disiplin, tetapi mencerminkan tragedi ruh pendidikan bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi, adab seorang murid terhadap guru kini dipertanyakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional kita sedang kehilangan arah moral dan filosofinya.

Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu, melainkan pembentukan watak dan budi pekerti. Melalui sistem among—yang berasaskan kodrat alam dan kebebasan yang bertanggung jawab—pendidikan dimaksudkan untuk memerdekakan manusia dalam kebaikan. Artinya, anak diberi kebebasan memilih, tetapi hanya dalam hal-hal yang baik dan bermoral, bukan kebebasan untuk memberontak terhadap nilai kebaikan itu sendiri.

Sayangnya, dewasa ini konsep “merdeka” sering disalahartikan. Anak-anak seolah diberikan hak tanpa batas, sementara kewajibannya diabaikan. Undang-undang Perlindungan Anak yang sejatinya dimaksudkan untuk melindungi tumbuh kembang anak, justru sering dimaknai sebagai pemanjaan anak. Akibatnya, ketika guru menegakkan disiplin dan memberi sanksi pendidikan, justru guru yang disudutkan, bahkan diproses secara hukum.

Padahal, menghukum bukan berarti membenci. Sebaliknya, hukuman yang mendidik merupakan bentuk tanggung jawab moral seorang guru dalam membentuk karakter anak. Dengan belajar dari kesalahan, anak diajarkan berpikir tentang sebab dan akibat, serta bertanggung jawab atas tindakannya. Menegur murid yang salah adalah bagian dari kasih sayang seorang pendidik, bukan kekerasan sebagaimana sering disalahpahami.

Guru adalah empu bangsa, pengukir mahkota negeri dalam wujud generasi muda. Maka ketika seorang guru dipermalukan, sejatinya martabat bangsa ikut direndahkan. Dari jutaan warga negara yang masih menghormati guru, hanya sebagian kecil yang memilih berpihak pada tindakan melawan otoritas moral pendidikan. Namun sayangnya, suara yang kecil itu kini lebih nyaring karena didorong oleh narasi kebebasan yang keliru.

Bila sistem pendidikan kita terus kehilangan ruhnya, maka generasi yang lahir bukanlah generasi merdeka dalam berpikir, melainkan generasi yang bebas tanpa arah. Sudah saatnya negara hadir menegaskan kembali makna kemerdekaan dalam pendidikan: kebebasan yang berlandaskan tanggung jawab, adab, dan moralitas.

Pendidikan bukan tempat menumbuhkan perlawanan terhadap kebaikan, tetapi ruang untuk membentuk manusia seutuhnya—berakal budi, berbudi pekerti, dan berkarakter kuat. Karena itu, bangsa ini harus kembali menegakkan martabat guru sebagai sumber teladan, melebihi pemegang kekuasaan sekalipun. Sebab, dari tangan para gurulah nasib dan masa depan negeri ini diukir.

Akhir Kata
Anak adalah mahkota negeri, dan guru adalah pengukirnya. Jangan biarkan tangan-tangan yang tulus mengukir itu terpotong oleh tafsir salah atas kebebasan. Karena tanpa guru yang dihormati, tak ada bangsa yang bermartabat.

Jakarta, 17 Oktober 2025, Tepat Hari Ulang Tahun Bapak Nasional Indonesia Presiden Prabowo Subianto, Kami Ucapkan Dirgahayu Ke 74 Semoga Bapak Bisa Menyelesaikan Semua Permasalahan Bangsa Indonesia.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *