Hukum Ekonomi Harus Melindungi Rakyat, Bukan Membela Bunga Tinggi
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TIDAK PRO RAKYAT
Opini Oleh: Indria Febriansyah, Pengamat Fintech Peer-to-Peer Lending
Sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap 97 perusahaan fintech pinjaman online (pinjol) kembali menuai polemik. Tuduhan kartel bunga disematkan karena para penyelenggara melalui Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menurunkan bunga dari 0,8% per hari menjadi 0,4% per hari sejak 2021.
Dari kacamata teori hukum ekonomi yang melindungi masyarakat, langkah ini justru seharusnya diapresiasi, bukan dipersoalkan.
1. Fungsi Hukum Ekonomi: Mengatur demi Efisiensi dan Perlindungan
Hukum ekonomi modern tidak hanya berfungsi menjaga kompetisi, tetapi juga memastikan efisiensi dan perlindungan terhadap masyarakat. Regulasi yang lahir melalui kesepakatan antara AFPI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jelas bertujuan menurunkan beban rakyat, bukan memperkaya industri.
Maka, logika hukum persaingan tidak bisa dilepaskan dari fungsi sosial hukum ekonomi itu sendiri. Jika ada kebijakan penurunan bunga, maka tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan investor dan perlindungan konsumen.
2. Bunga Lebih Rendah = Risiko Gagal Bayar Lebih Rendah
Konsep dasar hukum ekonomi yang pro-rakyat adalah menekan biaya transaksi agar tidak menjadi beban berat bagi pengguna jasa. Dengan bunga 0,4% per hari, peminjam (borrower) memiliki peluang lebih besar untuk melunasi kewajiban.
Semakin rendah bunga, semakin kecil pula risiko gagal bayar. Hal ini secara langsung menekan potensi kredit macet dan memberi keamanan lebih, baik bagi peminjam maupun pemberi pinjaman.
3. Persepsi Investor: Keamanan dan Tingkat Pengembalian
Sering kali, KPPU hanya melihat bunga dari perspektif persaingan harga. Padahal, dalam praktik fintech lending, investor tidak hanya melihat tingkat bunga, melainkan:
Keamanan dana yang disalurkan,
Persentase pengembalian pokok, dan
Kestabilan sistem regulasi.
Artinya, menurunkan bunga tidak serta merta menurunkan minat investor. Sebaliknya, justru meningkatkan kepercayaan karena risiko gagal bayar lebih kecil. Investor yang rasional selalu mengutamakan kepastian pengembalian dana dibanding sekadar mengejar bunga tinggi dengan risiko gagal bayar besar.
4. Regulasi OJK sebagai Legitimasi
Fakta bahwa penurunan bunga dilakukan berdasarkan arahan OJK membuktikan bahwa kebijakan ini bukan inisiatif sepihak untuk merugikan konsumen, melainkan bagian dari regulasi resmi. Oleh karena itu, menyebutnya sebagai “kartel” adalah bentuk penyederhanaan hukum yang salah kaprah.
KPPU seharusnya membaca konteks ini dengan kacamata hukum ekonomi: jika regulasi menurunkan bunga membawa manfaat sosial yang lebih luas, maka langkah tersebut sah dan patut didukung.
5. Kesimpulan: KPPU Harus Melindungi Rakyat
Sebagai lembaga negara, KPPU harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam membela kepentingan bunga tinggi yang justru memberatkan rakyat. Semangat hukum ekonomi adalah memastikan keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen.
Menurunkan bunga dari 0,8% ke 0,4% bukanlah kejahatan pasar, melainkan bentuk perlindungan nyata terhadap rakyat sekaligus instrumen menciptakan iklim investasi yang sehat, aman, dan berkelanjutan.
Jika KPPU benar-benar konsisten melindungi masyarakat, maka sudah seharusnya langkah penurunan bunga ini tidak dipersoalkan, melainkan diperkuat melalui regulasi yang lebih jelas dan berpihak pada kepentingan publik.