Bendera Merah Putih Bukan Properti Kritik: Ketika Simbol Bangsa Dijadikan Alat Gimik

Indria Febriansyah Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia

Opini14 Views
banner 468x60

Kitabaru.com – Ada satu garis yang tak seharusnya dilanggar dalam dinamika kebebasan berekspresi: garis antara kritik terhadap kekuasaan dan pelecehan terhadap simbol negara. Ketika Tribun Jogja menempatkan bendera bajak laut dari anime One Piece berdampingan dengan bendera Merah Putih dalam narasi “Topi Jerami Lawan Tirani”, maka itu bukan lagi semata bentuk kritik sosial. Itu adalah tindakan simbolik yang keliru secara historis, etis, dan kebangsaan.

Ini bukan soal takut pada fiksi, bukan pula soal melarang simbol budaya pop. Ini soal kecanggungan moral ketika simbol hiburan disandingkan dengan lambang sakral perjuangan bangsa. Bendera Merah Putih tidak lahir dari pena mangaka, tapi dari darah para pejuang yang gugur tanpa pamrih. Ia bukan simbol administratif yang bisa dikritik seenaknya—ia adalah warisan kolektif yang menyatukan kita, bahkan ketika penguasa datang dan pergi.

banner 336x280

Maka menyandingkan bendera bajak laut fiksi Jepang sebagai simbol “perlawanan terhadap tirani” justru merupakan simplifikasi yang dangkal dan manipulatif. Bila yang dikritik adalah kebijakan, kritiklah dengan narasi yang jujur dan saluran yang sah. Tapi ketika simbol negara ikut ditarik ke medan satire sebagai alat visual, maka itu adalah serangan terhadap nilai bersama yang melampaui kekuasaan—yakni keberadaan bangsa itu sendiri.

Sungguh ironis jika media sebesar Tribun justru mendorong pembacanya ke arah penyesatan berpikir. Alih-alih mendidik publik untuk memahami perbedaan antara negara dan penguasa, mereka malah mempopulerkan wacana bahwa perlawanan terhadap sistem bisa dilambangkan dengan menyandingkan bendera anime dan Merah Putih di satu tiang. Ini bukan pendidikan politik, ini degradasi simbolik.

Negara adalah kita semua. Simbolnya bukan milik partai, bukan milik presiden, bukan milik aparat. Ia milik rakyat dari Sabang sampai Merauke yang bersumpah di bawah sang saka untuk satu hal: hidup sebagai bangsa yang bermartabat. Maka ketika simbol itu dijadikan bahan permainan naratif atas nama kritik fiksi, itu artinya kita sedang menggerogoti rumah kita sendiri dari dalam.

Media punya peran strategis membentuk nalar publik. Namun ketika media malah memburamkan batas antara kritik dan pencemaran simbol, maka kita patut bertanya: apakah ini masih ekspresi jurnalisme, atau sudah jadi gerakan destruktif yang membungkus sabotase simbolik dengan selimut satire?

Indonesia adalah ruang untuk kritik. Tapi Indonesia juga rumah yang harus dijaga. Jangan karena ingin terlihat berani, kita justru menghancurkan yang paling sakral: rasa hormat pada tempat kita berdamai dan mencintai Tanah Air beta.

(Indria Febriansyah)

Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *