Abolisi dan Amnesti Prabowo: Antara Kewenangan Konstitusional dan Nilai Kebangsaan
Opini: Indria Febriansyah, S.E., M.H.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto adalah langkah politik dan hukum yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Banyak pihak memberi tafsir berbeda, ada yang melihat ini sebagai barter politik, ada pula yang menganggapnya sebagai bentuk penyimpangan terhadap supremasi hukum.
Namun Ketua Umum KSTI, Indria Febriansyah, memberikan sudut pandang yang berbeda: bahwa ini adalah bagian dari hak prerogatif presiden yang telah diatur konstitusi, dan bukan hal baru dalam sejarah Indonesia.
Dalam masyarakat kita, gagasan restorative justice atau keadilan restoratif bukanlah hal asing. Prinsipnya sederhana: menyelesaikan masalah hukum tidak semata-mata untuk menghukum, tapi untuk membangun kembali harmoni sosial.
Dalam konteks ini, Prabowo mengajarkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar penegakan hukum—ia menawarkan pelajaran tentang rekonsiliasi, persatuan, dan prioritas bangsa.
Energi negara tidak boleh terus terkuras hanya untuk mempertontonkan drama kekuasaan, di mana yang kuat memangsa yang lemah.
Sebaliknya, yang kuat seharusnya mengangkat yang lemah, yang di atas menarik yang di bawah, dan yang di bawah mendorong yang di atas—seperti nilai luhur yang diwariskan dalam falsafah gotong royong dan prinsip kepemimpinan Jawa:
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Presiden tidak sedang bermain-main dengan hukum, melainkan sedang menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan dalam menjatuhkan, tetapi dalam memaafkan dan memulihkan. Kebijakan abolisi dan amnesti ini bisa dibaca sebagai upaya membalik paradigma kekuasaan yang selama ini kerap digunakan untuk menghukum berdasarkan “like and dislike” politik.
Jika dugaan kriminalisasi terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto benar adanya, maka ini adalah koreksi yang berani terhadap sistem hukum yang selama ini cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Apapun tafsirnya, satu hal yang tidak bisa dibantah: Indonesia membutuhkan persatuan. Bukan hanya persatuan fisik dan geografis, tapi juga persatuan dalam jiwa dan semangat kebangsaan. Untuk melaju ke masa depan, kita tidak bisa terus membiarkan bangsa ini terpecah dalam narasi balas dendam dan persekusi politik.
Dengan memberikan abolisi dan amnesti, Presiden Prabowo sedang mengajak bangsa ini untuk berhenti melihat ke belakang dengan kemarahan, dan mulai melihat ke depan dengan harapan. Dan untuk itu, Indonesia harus melangkah bersama sebagai satu tubuh, satu tekad, satu bangsa. (red)